Ilustrasi/Nu online |
Manuskrip ini ditemukan Arman AZ saat melakukan penelitian lanjutan di Perpustakaan Leiden tahun 2015. Selain Oendang-oendang Adat Krui, dalam bundel yang sama juga tersimpan Undang-undang Krui yang beraksara Jawi dan beraksara Lampung, terbagi dalam dua kolom.
Naskah Oendang-Oendang Adat Krui tertulis di kertas Eropa berukuran folio. Kondisi kertas masih baik sehingga tulisan tangan masih bisa terbaca jelas. Naskah ini terdiri dari 22 halaman. Seluruh tulisan menggunakan aksara Jawi, di beberapa bagian tertulis aksara Melayu untuk menjelaskan pasal-pasal. Penomoran halaman juga menggunakan angka Arab.
Peneliti juga mengungkapkan, pada halaman terakhir manuskrip, ditemukan penjelasan tentang penulis dan titimangsa penulisan. Naskah ini ditulis oleh seseorang bernama Abdul Manaf. Hal yang cukup mengejutkan, naskah ini ditulis tahun 1237 Hijriah atau tahun 1816 Masehi. Artinya, manuskrip Oendang-Oendang Adat Krui ini ditulis hampir 200 tahun silam.
Di halaman pertama manuskrip ini, ada yang cukup mengundang perhatian. Ada kata Jacoep yang ditulis dengan aksara latin, sementara aksara lainnya menggunakan aksara Jawi. Para peneliti meyakini Jacoep ini merujuk nama orang, 'Yakup' atau 'Yakub'.
"Apakah Jacoep ini penduduk pribumi atau orang Belanda? Beberapa nama lain dalam manuskrip, seluruhnya ditulis dengan aksara Jawi. Menjadi ganjil, mengapa hanya nama 'Jacoep' yang ditulis menggunakan aksara latin. Pada beberapa halaman, ada kata atau frase yang masih kami ragukan kevalidannya," tulis peneliti dalam laporannya.
Selain itu ada kata yang sudah arkais, jarang terdengar atau jarang dipakai saat ini. Hal ini cukup menyulitkan kami sehingga terasa ada bagianbagian yang 'kosong', kurang lengkap untuk dimengerti. Dalam hal penulisan juga ada ketidak-konsistenan penulis masnuskrip dalam menuliskan kata-kata yang sama. Tetapi, masih dapat dimengerti karena kata tersebut menggunakan bahasa melayu yang lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia saat ini.
Satu hal yang menjadi kesulitan juga adalah tidak adanya tanda baca seperti 'titik' dan 'koma', sehingga menyulitkan para peneliti sebagai pengalih-bahasa atau pembaca yang hendak membaca kembali naskah ini untuk mengerti konteks tulisan di dalam naskah secara lengkap. (Habib, 2019: 13-14)
Ringkasan Isi Cerita
Oendang-Oendang Adat Krui memuat 41 (empatpuluh satu) pasal yang berisi hukuman berupa denda-denda terhadap tindakan yang melanggar norma masyarakat yang berlaku saat itu.
Denda itu berupa uang dalam bentuk (mata uang) real.
Jika ditinjau dengan perspektif masa kini, hampir seluruh pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Pembaca mungkin akan merasa lucu, aneh, dan janggal menemukan kenyataan bahwa pernah ada hukuman hukuman semacam itu.
Hal-hal yang sepele dan sebenarnya bisa diselesaikan tanpa denda, ternyata pernah menjadi 'masalah', sehingga harus dibuatkan peraturannya pada masa itu. Bahkan di sebagian pasal, ada yang cenderung menguntungkan pemimpin adat secara materi.
Tidak ditemukan hukuman yang lazim dipakai pada saat ini berupa penjara atau kurungan. Maka menjadi wajar jika pasal-pasal itu tidak berlaku lagi bahkan dilupakan masyarakat Pesisir Barat.
Sesuatu yang menjadi pertanyaan, menurut para penliti, adalah tidak ditemukannya hukuman yang bisa diidentikkan dengan Islam.
Padahal patut diketahui bahwa suku Lampung dikenal sebagai pemeluk agama Islam. Tetapi tidak tercermin dalam hukum yang dialih-aksarakan ini.
Contohnya tidak terdapatnya pasal yang berkaitan dengan perzinahan. Membaca pasal demi pasal hasil alih aksara, akan kebingungan karena hampir seluruh susunan kalimatnya terasa ganjil, tidak linier, sehingga kita harus menafsir-menyusun ulang untuk mendapatkan maksud kalimat. Pada beberapa halaman, pasal-pasal itu tidak berurutan nomornya sehingga harus mencari urutan yang tepat.
Kata yang berwarna merah dalam alih aksara, masih diragukan karena sumber asli kurang jelas terbaca.
Kita akan menemukan aneka bentuk pelanggaran yang tercantum dalam undang-undang tersebut, misalnya, 'Mengakali harta orang' (mencuri) baik sendiri atau berkomplot, lelaki menyentuh perempuan yang bukan miliknya, perkelahian, larian (melarikan gadis), jual beli, siasat jahat, perampokan atau menyamun, gadai-menggadai, orang luar masuk dusun tidak meletakkan barang 22 bawaannya, ihwal perceraian, ihwal penggunaan pakaian yang tidak sesuai dengan jabatan/kedudukan, bahkan salah tempat duduk pun menjadi penting untuk dihukum.
Termasuk urusan 'naik gelar' jika seseorang ingin mendapatkan 'jabatan' (raja, keriye, atau perwatin) harus menyerahkan sejumlah real.