AnalisaPos.Com, Global- “We will win,” demikian kata Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, saat menutup orasinya dalam seminar ekonomi bertajuk “Pasca Konflik Rusia-Ukraina Menuju Multipolarisme” yang diadakan di Bandung 24 Januari lalu.
Keyakinan Vorobieva bukan tanpa alasan. Ia memaparkan data-data bahwa hingga kini pemerintah Rusia berhasil memitigasi dampak perang berkat berbagai kemandirian yang dimiliki negara tersebut, terutama pangan dan berbagai kebutuhan dasar lainnya.
Kontraksi ekonomi hanya terjadi 2 persen meskipun Rusia diembargo dari berbagai penjuru; belum pernah ada di dalam sejarah modern ada negara yang disanksi sebanyak yang dialami Rusia saat ini.
Ada isu penting yang diangkat oleh Vorobieva dalam seminar yang diadakan oleh Komite Persahabatan Indonesia-Rusia dan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung ini, yaitu konstelasi geopolitik global yang semakin bergeser ke arah multipolarisme.
Menurutnya, posisi Rusia saat ini adalah melawan hegemoni Barat, yang dipimpin Amerika Serikat, yang selama ini selalu berusaha menekan negara-negara lain dalam rangka mengeruk kekayaan dan sumber daya alam.
Banyak yang telah menyadari bahwa meskipun era kolonialisme sudah berakhir, Barat masih melanjutkan praktik-praktik ala kolonial, yaitu mengeksploitasi negara-negara Dunia Ketiga, namun dibungkus program yang seolah modern seperti ‘kerja sama’ atau ‘perdagangan bebas.’
Pakar Hubungan Internasional asal AS, John Mearsheimer, mengakui bahwa kebijakan luar negeri AS didasari oleh nilai liberalisme.
Liberalisme Barat mengusung dua konsep penting, yaitu demokrasi dan perdagangan bebas. Jika ada negara yang menolak implementasi konsep liberal ala AS ini, diluncurkanlah agenda penggulingan rezim.
Menurut Mearsheimer, melalui penggulingan rezim-rezim ini, AS mendapatkan dua keuntungan, yaitu, naiknya pemerintahan yang pro-Barat di negara tersebut dan terimplementasinya nilai demokrasi liberal yang merupakan nilai dasar Barat.
Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat dunia semakin paham bahwa jargon-jargon demokrasi Barat yang disertai pemaksaan, bahkan perang, tak lebih upaya membuka pintu bagi eksploitasi yang lebih masif terhadap kekayaan alam di sebuah negara.
Bersama adanya kesadaran ini, muncullah kekuatan-kekuatan ekonomi-politik yang menjadi poros-poros baru, seperti Rusia, China, India, Brazil, dan Afrika Selatan.
Kelima negara ini membentuk blok ekonomi yang dipandang sebagai saingan utama blok G7. Negara-negara berkembang yang sejak lama menolak tunduk kepada Barat, seperti Iran, Venezuela, Kuba, Suriah, juga terlihat mulai merapat kepada blok ini.
Keberanian untuk menggunakan mata uang selain Dollar, pilar utama kedigdayaan Barat, semakin menguat setelah dimulainya Perang Rusia-Ukraina.
Seperti dikatakan Dubes Rusia, ada dua model geopolitik yang tengah bertarung saat ini. Pertama, model Barat, yang memiliki pandangan dunia (world view) bahwa Barat-lah yang terbaik dan semua negara harus mematuhi Barat.
Kedua, model yang ditawarkan Rusia, di mana semua negara berhak untuk mencapai kepentingan nasional mereka, tetapi didasarkan pada kerja sama yang setara dan adil.
Indonesia sebagai negara yang mengklaim memiliki pandangan politik luar negeri yang bebas-aktif, perlu mencermati pergeseran geopolitik ini.
Bebas-aktif harus didasarkan pada kepentingan nasional kita, bukan keinginan untuk menyenangkan semua pihak alias “ambil aman.” Keberanian sebagian negara-negara Dunia Ketiga untuk melawan hegemoni Barat, perlu diikuti oleh Indonesia demi terwujudnya kemakmuran dan kemandirian.
Transisi menuju dunia yang multipolar, mungkin memang menyakitkan. Saat ini banyak masalah yang dirasakan masyarakat dunia, mulai dari perang, ancaman ketidakamanan pangan, dan berbagai kesulitan ekonomi.
Namun ketika dominasi unipolarisme Barat runtuh, akan muncul kesempatan baru dimana negara-negara dunia berada dalam sistem yang berkeadilan; yang tidak lagi didominiasi oleh kekuatan-kekuatan neokolonialisme yang agresif dan eksploitatif.