-->
Analisapos

Terkini,Terpercaya Dan Independen

  • Jelajahi

    Copyright © Analisapos
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan paling atas manual


     

    Tulisan Jurnalis Lebih Tajam Dari Peluru, Goresan Tinta Mengubah Dunia

    Editor
    Tuesday 31 January 2023, January 31, 2023 WIB Last Updated 2023-01-31T15:53:34Z

     

    ilustrasi


    N

    apoleon Bonaparte pernah mengatakan ” Saya lebih takut menghadapi pena Jurnalis daripada seribu bayonet musuh,”  Napoleon Bonaparte merupakan seorang pangima perang sekaligus pemimpin Prancis pada masanya.


    Kata kata tersebut mungkin dianggap berlebihan bagi sebagian orang, terlebih ungkapan tersebut dikeluarkan oleh seorang panglima perang Perancis, sosok hebat yang telah memimpin berbagai peperangan di Eropa. 


    Ia memiliki pengaruh yang besar terhadap persoalan-persoalan Eropa selama lebih dari satu dasawarsa ketika memimpin Prancis.


    Secara historis, Napoleon memenangkan peperangan hampir di semua pertempuran dan dengan cepat memperoleh kendali atas Eropa.


    Dalam persoalan-persoalan sipil, Napoleon mempunyai sebuah pengaruh yang besar dan lama dengan membawa pembaruan liberal ke negara-negara yang ia taklukkan, terutama ke Negara-Negara Rendah, Swiss, Italia, dan sebagian besar Jerman.


    Tapi kenapa Napoleon takut dengan pena Jurnalis? Katanya " Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.”


    Bagi kita, mungkin ungkapan tersebut hanyaah sebuah kata hiperbolik yang di lebih-lebihkan. 


    Tapi tidak bagi Napoleon Bonaparte. Baginya sudah banyak lawan yang ia taklukan, musuh yang ia bunuh, tetapi para tentara itu mati kerena timah peluru dan dianggap biasa saja.


    Huruf-huruf dan kata-kata yang disusun serta dirangkai menjadi sebuah kalimat yang dibuat oleh para Jurnalis itu lebih berbaya dari sebuah peluru panas dan meriam.


    Sebab, sebuah peluru dan meriam itu hanya akan mengenai badan membuat lawan menjadi tumbang.


    Tapi tidak dengan tulisan para Jurnalis, tulisan dan kata-kata itu huruf itu akan mengenai otak dan menyusuk hati.


    “ Dari otak itu kemudian mengubah kognisi. Dari kognisi mengubah afeksi dan psikomotorik. Lambat laun, Jurnalispun bisa menggerakkan banyak orang se Kampung, se-Kota, se-Provinsi, se-Bangsa bahkan seluruh Dunia”


    Dari  ungkapan tersebut jelas betapa jurnalis atau wartawan memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga seorang Napoleon yang sangat berkuasa begitu ketakutan dengan tajamnya kata dan kalimat wartawan saat itu.

    Masa kini ketajaman pena wartawan terus menjadi momok bagi sebagian orang apalagi mereka yang sedang berkuasa dan tidak mau dikritik atas kebijakannya.

    Jurnalis sendiri memiliki fungsi seperti melakukan edukasi, menghibur, mempengaruhi pendapat masyarakat sekaligus sebagai kontrol sosial bagi para penguasa termasuk masyarakat umum.

    Sejak kelahirannya, eksistensi pers/jurnalis selalu diuji. Ini bukan hanya soal keberlanjutannya, melainkan juga soal perannya. Peran kontrol sosial membawa konsekuensi soal independensi. Pers tidak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran.

    Baca Juga : Perang Pemikiran Perang Modern

                       Pasca Konflik Rusia-Ukraina

    Maka wajar jika pers menjadi pengkritik keras segala isu. Namun, perkembangan pers menunjukkan mudahnya kritisme berubah menjadi pemberitaan negatif, bahkan sensasional. 

    Akibatnya, adagium terkenal dari industri pers ialah bad news is good news atau bad news sells.

    Meski tugas berat sebagai jurnalis untuk menerima tantangan di lapangan karena berbagai problem dihadapi. Yakinlah ketika sensor berkuasa, ketika kekuasaan menindas akal sehat, maka jurnalisme harus melawan.
     
    Karena tugasnya Jurnalis yang sangat mulia membuat para pembacanya bisa menjadi saksi sejarah, karya fiksi memberi kesempatan kepada pembacanya untuk menghidupkannya.


    Saya teringat pada catatan pendek Gilbert Keith Chesterton seorang Penulis dari Inggris (1874-1936) pernah mengungkapkan bahwa tugas wartawan menjalankan peliputan serta menulis itu berat karena mengungkap  hal fiksi menjadi fakta.


    "Jurnalis itu populer, tetapi populer terutama sebagai fiksi. Hidup adalah satu dunia, dan kehidupan yang terlihat di koran adalah dunia lain," katanya.

    Sedangkan, Alvin Toffler seorang Penulis dan Futurolog Amerika dikutip tulisan pendeknya mengatakan buta aksara itu bukan milik mereka yang tak bisa membaca dan menulis, melainkan bagi mereka yang tidak ingin belajar.

    " Buta huruf tentang masa depan bukan bagi mereka yang tidak bisa membaca atau menulis. Tapi mereka yang tidak bisa belajar, meninggalkan belajar, dan mengulangnya," Demikian kutipan ucapan Alvin Toffler.

    Menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah karena dibutuhkan passion yang hebat dalam hal kesungguhan menggali informasi. 

    Ketika seorang jurnalis sudah turun lapangan maka di situlah dia berjuang dengan segenap upaya untuk mendapatkan informasi yang berharga di tengah masyarakat.

    Sejak kelahirannya, eksistensi pers selalu diuji. Ini bukan hanya soal keberlanjutannya, melainkan juga soal perannya. Peran kontrol sosial membawa konsekuensi soal independensi. 

    Pers tidak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran. Maka wajar jika pers menjadi pengkritik keras segala isu.

    Eksistensi jurnalis belakangan ini mendongkrak kemajuan. Goresan tulisan dan peryanyaan menggelitik dirasakan seperti tembakan peluru.

    Perjuangan seorang jurnalis akan terasa sangat berat ketika menghadapi perlawanan karena pekerjaan tidak mudah dan juga tidak menyenangkan.

    Dari perpustakaan buku-buku di zaman kita, ragamnya begitu banyak, dan mereka mengikuti begitu cepat dari jurnalis sehingga orang harus menjadi pembaca yang cepat untuk memperkenalkan dirinya bahkan dengan judul-judulnya.

    Perkembangan saat ini, walau seorang jurnalis bukanlah profesi yang bisa membuat seseorang kaya dalam waktu instan, profesi inilah yang berkontribusi besar dalam kemajuan demokrasi suatu negara.

    Tugasnya memang mengungkap fakta dan mengoreksi. Tapi mengkritiklah dengan membangun menggunakan solusi bukan semata karena sensi.


    Lakukan hal terbaik sebagai jurnalis. Yang terpenting seorang jurnalis harus berlaku independen dan terbebas dari belenggu cengkraman kekuasaan baik itu yang berasal dari pemerintah ataupun swasta.

    Wartawan, atau jurnalis adalah profesi yang melakukan aktivitas jurnalistik yang menghasilkan berita baik dalam bentuk tulisan, video atau audio yang dikirimkan ke media massa. 

    Profesi ini biasanya turun langsung ke lapangan untuk mendapatkan data yang dicari kemudian melaporkannya kepada lembaga pers.

    Baca Juga : Media Terkadang Dijadikan Alat Politik

    Dengan bahasa yang kian menggelitik, penuh bumbu-bumbu yang menggoda pembaca tentu menjadi instrumen bahwa bahasa itu ibarat senjata dan kata adalah peluru. 

    Jika menembak seseorang dengan pemberitaan akan membuat gemetar.

    Selain dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.  Oleh sebab itu setiap wartawan dituntut tetap memegang kode etik.

    Menjadi wartawan juga tidak gampang. Pertanggungjawabannya dunia akhirat.

    Setiap orang yang dirugikan akibat pemberitaan diberikan hak jawab yaitu hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

    Hak jawab digunakan ketika pemberitaan di media, baik media cetak, media siber, maupun media elektronik, bertolak belakang dengan fakta yang terjadi dan mencemarkan nama baik seseorang atau sekelompok orang.

    Ketika hak jawab diberikan pers memiliki hak koreksi yakni hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh wartawan, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

    Mengutip tulisan di berbagai opini. Peran jurnalis selalu diuji. Dengan kata lain, kabar buruk lebih menjual jika dibandingkan dengan kabar baik. 

    Meski telah mampu menghidupkan industri, candu pemberitaan negatif juga menjadi bumerang.

    Sudah beberapa dekade ini timbul apatisme masyarakat global akibat kejengahan akan berita-berita muram itu. Hasilnya, media arus utama yang mulai ditinggalkan.

    Bagaimanakah wujud kontrol sosial itu dalam kegentingan dunia saat ini? Pertanyaan itu tidak berlebihan. Sebab, tanggung jawab pers sebenarnya tidak lebih ringan dari mereka yang berada di garda terdepan.

    Tidak heran, paham jurnalisme konstruktif makin disuarakan keberadaannya. 

    Jurnalisme konstruktif bukan sekadar good news is good news atau sekadar memproduksi lebih banyak berita positif, melainkan jurnalisme yang menciptakan lebih banyak pengetahuan. 

    Dengan kata lain, pers tidak hanya menyuarakan informasi, tetapi juga ikut menginspirasi solusi

     

     

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Hukum & Kriminal

    +