-->
Analisapos

Terkini,Terpercaya Dan Independen

  • Jelajahi

    Copyright © Analisapos
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan paling atas manual


     

    Pemilu dan Pilkada 2024 Diharap Lahirkan Pemimpin Yang Berintegritas

    Editor
    Monday 1 January 2024, January 01, 2024 WIB Last Updated 2024-01-01T16:19:59Z



    Analisapos.com, Opini - Tepat tanggal 1 Januari 2024 selepas magrib saat itu saya bersama keluarga sedang menikmati secangkir kopi hangat. Setelah kuteguk secangkir kopi itu pemandangan di sekelilingku gelap disertai suara hujan deras yang mengguyur, aaah ternyata masih sama seperti dulu tak ada perubahan, masih sering mati lampu pikirku.


    Dalam suasana gelap itu sambil mengisap sebatang rokok aku teringat dengan sebuah film yang saya gemari kala masih kanak-kanak. Yaitu "Film Si Unyil " melalui layar hitam putih setiap Minggu pagi kami bersama teman-teman menonton film tersebut di rumah tetangga.


    Film produksi PPFN yang diciptakan Drs. Suyadi ini menggunakan boneka sehingga digemari anak-anak se-antero negeri.


    Dalam film ini selain Si Unyil, ada beberapa tokoh dalam film tersebut, seperti Pak Raden, Pak Ogah, Mbok Bariah, Ucrit, Usro, Pak Lurah, Pak Cuplis dan lain-lain.


    Dari semua tokoh ini, ada satu tokoh yang sangat berkarakter, yaitu Pak Ogah. Sosok Pak Ogah dikenal berkepala botak, tempat nongkrongnya di Pos Ronda, memalak orang-orang yang lewat dan terkenal dengan kalimat “cepek dulu dong…”.


    Kalimat “Cepek” yang diserap dari dialek Hokkian, yang bermakna satu keping uang Seratus Rupiah. 


    Karena populernya perilaku Pak Ogah yang hobi minta fee alias malak, maka di kota-kota besar, orang-orang yang mengatur jalanan (bukan Polantas) dengan harapan diberikan uang receh dari pemakai jalan, disebut “Pak Ogah”.


    Pikiranku pun tiba-tiba berpokus pada sang pemeran bernama Pak Ogah tersebut. Saya sedang membayangkan jika sosok Pak Ogah ini ada dalam dunia pemerintahan, apalagi ia pejabat tinggi Negara atau Kepala Daerah.


    Setiap proyek pasti harus “cepek dulu dong” alias ada fee atau komisi melalui orang-orang kepercayaannya. 


    Setiap investor dan kontraktor datang, belumlah bekerja sudah dipalak duluan. Begitupula ketika bawahan yang mau posisi atau dimutasi, haruslah pintar menjilat dan mampu membayar fee yang sudah ditetapkan.


    Setiap bulan, bawahan diposisi basah harus menyetor melalui orang kepercayaan. Setiap posisi ada upeti, begitulah kalau (karakter) Pak Ogah duduk sebagai pejabat pemerintah.


    Sebagaimana dalam film “Si Unyil”, selain suka minta fee alias malak, Pak Ogah juga bersikap arogan. 


    Bahkan anak kecil yang masih sekolah di tingkat SD seperti Unyil dan Ucrit seringkali dipalak dan dibentak-bentak. 


    Namun ketika berhadapan dengan Pak Raden, nyalinya ciut dan berusaha mengumbar senyum seakan-akan paling ramah. Ujung-ujungnya Pak Ogah minta maaf. 


    Penguasaan Pos Ronda oleh Pak Ogah adalah bukti betapa ia begitu berambisi dalam menguasai daerah kekuasaannya, sekaligus mempertahankan wilayah kekuasaan.


    Tidak boleh ada orang lain, kecuali yang pro kepada Pak Ogah. Maka muncullah sosok penjilat Pak Ogah bernama Pak Ableh.


    Mari kita bayangkan, jika saja, karakter Pak Ogah ini berada di pucuk pimpinan di pemerintahan, ia tidak hanya membuat birokrasi menjadi tidak sehat, sebab pastinya melibatkan banyak orang dan semakin memperburuk citra pemerintah dimana Pak Ogah berkuasa. 


    Pak Ableh sebagai penjilat setia Pak Ogah pastinya bersikap “Oke Boss”. Tak penting Sang Boss bernama Pak Ogah berperilaku buruk, memalak, minta fee dan bersikap arogan, yang penting posisi aman. 


    Tak apa diri jadi centeng sebagaimana pribumi bermental “penjilat” menghambakan diri kepada kompeni.


    Dalam film “Si Unyil” Pak Ogah memang tidak memiliki isteri. Tak diceritakan apakah ia pernah duda ataukah memang masih bujangan. Namun jika Pak Ogah berada di pucuk pimpinan pemerintah, umumnya memiliki isteri. 


    Nah, jika perilaku Pak Ogah adalah dalam pemerintahan, jangan-jangan anak dan isteri tercinta akan memanfaatkan posisi sang suami (Pak Ogah). 


    Memanfaatkan kewenangan suami, mencari posisi untuk menjadi itu dan ini, misalnya jadi Caleg atau lainnya. Mumpung Pak Ogah sedang berkuasa dan menjadi Raja. 


    Mungkin begitulah jika cerita ada ini dalam dunia pemerintahan kita.


    "Ki Mak Meninis Mak Jadi," kalimat tersebut mungkin tidak asing lagi terdengar bagi masyarakat Lampung.


    Kalimat pendek tersebut mungkin hanya sebuah guyonan belaka, Namun jika diucapkan oleh Pemerintah atau penguasa memiliki arti yang sangat mendalam.


    Dimana jika diartikan dalam bahasa Indonesia "Jika tak ada uang maka tak akan tercapai" dalam artian lain suara rakyat dalam pemilihan bisa dibeli dengan uang.


    Dimana dampak dari pemerintah yang menang dalam Pemilihan menggunakan politik uang ini implikasinya akan melahirkan sosok Pemimpin yang anti Kritik dan selalu ingin menguasai.


    Seorang Pemimpin yang anti Kritik dan selalu ingin menguasai pastilah akan menciptakan konflik. 


    Seorang pemimpin yang harusnya menyelesaikan masalah, justru menciptakan masalah dan yang lebih parah adalah diri dan perilakunya justru menjadi masalah sehingga menjadi konflik berkepanjangan. 


    Lucunya, bawahan yang harus tampil membela Sang Boss, persis seperti Pak Ableh membela Pak Ogah, setali tiga uang alias “podo ae” atau “sami mawon”. 


    Kepemimpinan berkarakter Pak Ogah hanya berusaha menciptakan loyalitas tanpa integritas.


    Lantas, dari film “Si Unyil” kita bisa menganalisa karakter pemimpin kita saat ini, dimana ia berposisi ataukah dalam semua karakter ada dalam diri para pemimpin? Setidaknya ada tiga aktor dalam film “Si Unyil” menjadi karakter pemimpin yang berkuasa.


    Pemimpin “Si Unyil”. Karakter pemimpin Si Unyil ini adalah karakter pemimpin yang penuh dengan pencitraan. Disukai karena selalu berperan baik di dalam kamera.


    Ia menjadi “sosok yang baik” dan cenderung disukai rakyat sebagai penonton. Gayanya yang sederhana dan pesan-pesan kebaikan menjadi sihir utama dalam mencuri hati rakyat. 


    Slogan yang diciptakan berbalik dengan kenyataan. Namun di lain sisi, pemimpin Si Unyil ini tidak selesai dalam “bermain-main” seperti sangat kekanak-kanakan. Kadangkala yang dibuat menjadi kurang produktif bagi kepentingan masyarakat. 


    Jabatan yang disandang tidak begitu bermanfaat kecuali hanya untuk sekedar kepentingan layar kamera dan pencitraan belaka.


    Lalu, Pemimpin “Pak Raden”. Sebagaimana karakter tokoh dalam film Si Unyil, karakter Pak Raden adalah karakter pemimpin kawakan yang tidak pernah selesai membuat dan mencari panggung agar selalu eksis dalam kancah jabatan. 


    Ia akan selalu ingin tampil dan tidak boleh dilupakan. Perubahan zaman dan pertambahan usia tidak membuat ia ingin “pensiun” dari hiruk pikuk perpolitikan.


    Semua orang baru dianggap “anak kemaren sore” yang tidak tahu menahu. Haus akan jabatan dan koar-koar kesana kemari kalau jabatan tidak mampu diraih atau diberhentikan.



    Kemudian, Pemimpin “Pak Ogah”. Seperti penjelasan panjang diatas, pemimpin yang menjadikan profesi atau jabatan yang disandangnya sebagai lahan mencari uang. Berkepala botak dan berusaha memanfaatkan posisi sebagai “penguasa pos ronda” bersama sang penjilat bernama Pak Ableh. Memalak, meminta fee, komisi dan sebagainya adalah target Pak Ogah yang paling utama.


    Dari 3 jenis pemimpin ini kita bisa menyimpulkan bahwa pemimpin “Si Unyil” berkarakter “Playback”, pemimpin “Pak Raden” berkarakter “Flashback” dan pemimpin “Pak Ogah” berkarakter “Cashback”.


    Terus Pak Ableh gimana? Kalau Pak Ableh nggak usah aja dah, namanya juga anak kemaren sore belajar jadi penjilat, nggak punya pegangan kemampuan diri apalagi integritas. Jadi harus menjilat agar tetap melekat dengan Pak Ogah. 


    Semoga Pemimpin kita mendatang yang dihasilkan melalui Pemilu 2024 dan Pilkada 2024 benar-benar mampu membawa negeri ini menjadi lebih baik dan maju.


    Wallahu alam.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Hukum & Kriminal

    +